M.Subhi.A
LIPIA Jakarta


Sesudah melalui masa-masa inflasi yang sangat tinggi, perekonomian dunia mengalami suatu resesi mendalam dan laju pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dibarengi dengan laju suku bunga yang tinggi dan fluktuasi valuta asing yang tidak sehat. Krisis ini juga diperburuk adanya kemiskinan di tengah orang-orang kaya, berbagai bentuk ketidakadilan sosioekonomi, defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan negara-negara berkembang untuk mencicil hutang mereka. Para ekonom tentu akan cenderung setuju dengan pandangan bahwa tak ada teori ekonomi terdahulu yang tampaknya mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia saat ini.
Tak ada pengobatan yang efektif kecuali terfokus diarahkan pada arus utama krisis. Sayangnya yang banyak dilakukan adalah mengobati akar krisis hanya pada simtom. Akibatnya, penyembuhan hanya bersifat analgesik. Negara-negara muslim tidak jauh berbeda. Mereka dihadapkan pada persoalan yang sama dengan negara-negara lain.
Dalam prespektif Islam, akar krisis ini terlatak lebih dalam dan tidak akan dapat dicegah dan diobati hanya dengan perubahan kosmetik belaka. Elemen terpenting dari strategi Islam untuk mencapai kestabilan moneter adalah terintegrasinya semua aspek hidup keduniaan dan spiritual untuk menghasilkan suatu peningkatan moral manusia.
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85)
“… Apakah kalian beriman pada sebagian Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. “

Ayat tersebut menginagatkan bahwa selama kita menerapkan Islam secara parsial, maka kita akan mengalami keretpurukan dunia dan kerugian ukhrawi. Sebab selama ini Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah, sedangkan di sisi lain dimarginalkan dari dunia perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, transaksi ekspor impor dan kegiatan perekonomian lainnya. Umat Islam telah mengubur dalam-dalam Islam dengan tangannya sendiri. Sangat disayangkan dewasa ini banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena yang pertama adalah dunia putih dan yang kedua adalah dunia hitam. Dengan cara pandang seperti itu beberapa cendikiawan dan ekonom melihat Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan (an obstacle to economic growth).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan ketidakseimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas adalah salah. Bahkan ada sesuatu yang tidak beres pada sistem yang kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai Ilahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga “penyuntik darah” pembangunan ini sebagai sarang perampok berdasi yang meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian bangsa.  Adanya kenyataan bahwa 63 bank telah ditutup, 14 bank di-take over, dan 9 bank harus direkapitalisasi denga biaya ratusan triliyun rupiah, rasanya amatlah besar dosa para bangkir bila tetap berdiam diri dan berpangku tangan tanpa melakukan suatu upaya untuk memperbaikinya.
PERKEMBANGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvesianal. Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana ini, bank Islam tumbuh dengan sangat pesat. Hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroprasi di seluruh dunia, baik yang beroprasi di negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun Amerika.
Suatu hal yang patut juga dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardin Flemming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain yang telah membuka cabang unit-unit syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index (Bahrain 1999).
Berkembangnya bank-bank syariah di dunia berpengaruh pula ke Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam diskusi tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefudin, M Amien Aziz dan lain-lain[1]. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah Baitut Tamwil – Salman Bandung. Di Jakarta juga dibentuk lambaga serupa dalam bentuk koperasi , Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi prakarsa khusus mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 18-20 Mei menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Hotel Syahid Jaya Jakarta 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat MUNAS MUI tersebut, dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia.


[1] M.Amin Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia (Jakarta: Bangkit, 1992)