Bolehkah Makan Kulit Bangkai Yang Sudah Disamak?
oleh Siti Sarah Fauziah
rumahfiqih.com
 Syariat Islam membenarkan sucinya kulit bangkai yang sudah disamak. Lalu apa hukum memanfaatkan kulit bangkai yang sudah disamak? Bila telah disamak, bolehah kulit bangkai itu boleh diperjual-belikan? Dan kalau hukumnya sudah tidak najis lagi, bolehkah kulit bangkai itu dimakan?

Kita begitu sering menemukan banyak sekali barang-barang yang terbuat dari kulit hewan atau binatang. Tak sedikit pula barang tersebut digunakan oleh sebagian kalangan masyarakat baik kalangan ekonomi menengah atas maupun menengah bawah. Namun, yang sangat disayangkan mereka tidak begitu perduli dengan kehalalan kulit hewan yang telah disulap indah tersebut. Kulit hewan yang diperbolehkan dalam agamakah?

Lalu, bagi kita umat muslim yang begitu mengenal makna halal dan haram, apakah kita hanya mengabaikannya, berpura-pura tidak tahu atau bahkan tidak mau mencari tahu?
Padahal, Rasulullah SAW telah menerangkan dalam sunnahnya :
“ Yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas...” (HR Muslim)

Untuk itu, disini akan kita kupas tuntas hukum menggunakan kulit hewan tersebut dan berbagai permasalahan yang terkait. Insya Allah...

Samak atau dibaghoh

Sebelum mengetahui hukum samak tersebut, sangat penting sekali untuk mengetahui makna samak secara gamblang. Berikut kami paparkan maknanya dari berbagai rujukan.
Secara bahasa, dibaghoh berasal dari kalimat dabagho atau samak. Kalimat samak sendiri sering disandingkan dengan kulit hewan. Sehingga samak dalam kamus Mu’jam Wasith adalah menghilangkan kulit hewan tadi dengan alat bernama qorozh(batang kayu pohon yang berduri) atau semacamnya dari busuk, rusak dan lembab. [1]

Sedangkan secara istilah, para ulama fiqih memaknainya sama seperti makna samak secara bahasa itu sendiri.
Namun, dalam kitab Nihayatul Muhtaj kalimat dibaghoh atau samak adalah menghilangkan air atau kelembapan yang tersisa dari kulit sehingga ketika direndam tidak akan busuk atau rusak.[2]
Nah, bagi yang masih bingung, dijelaskan dalam Wikipedia, bahwa samak ialahmenyucikan kulit hewan dengan syarat-syarat tertentu. Ia menggunakan bahan-bahan yang bersifat tajam seperti tawas, bahan kimia dan sebagainya. Yang mana bahan-bahan tersebut dapat menanggalkan semua kotoran dan lendir yang mengandung kuman-kuman yang melekat pada kulit binatang tersebut.

Asal muasal dibaghoh

Apakah di zaman Rasulullah dan sahabat sudah ada dibaghoh? Tentu jawabannya iya. Karena ternyata, di zaman itu sudah amat sangat terkenal istilah dibaghohatau samak. Rasulullah sendiri yang telah mensyariatkannya dalam salah satu haditsnya.

عن ابن عباس قال : قال رسول الله (( إذا دبغ الإهاب فقد طهر )) رواه مسلم
“ Dari Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata : Apabila kulit telah disamak maka ia telah menjadi suci.” (HR. Muslim) [3]

Dikisahkan pula awal kejadian sebab adanya hadits tentang dibaghoh ini. Dimana pada suatu hari, Rasulullah SAW melewati bangkai domba milik Shohabiyah Maimunah Ra. Rasulullah SAW yang pada saat itu melihat domba itu dibiarkan saja, langsung berkata : (( Tidakkah kalian mengulitinya atau menyamaknya? Karena sesungguhnya kulit yang telah disamak itu suci )).

Maka dari kisah inilah, kita disyariatkan untuk menyamak kulit hewan yang sudah mati sekalipun karena hukumnya telah berubah menjadi suci. Dengandibaghoh, maka terangkatlah kotoran dalam kulit tersebut sehingga bisa menjadi bermanfaat dan dimanfaatkan.

Namun, yang perlu di garis bawahi adalah belum tentu semua hewan itu setelah disamak berubah menjadi suci menurut pandangan para ulama fiqih. Berikut permasalahannya dan penjelasannya :

A. Memakan kulit hasil penyamakan

1. Kulit hewan yang haram dimakan.
Sebelum maupun sesudah disamak , para ulama fiqih sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka bahwa tidak dibolehkannya memakan kulit bangkai dari hewan yang haram dimakan.

2. Kulit hewan yang halal dimakan
Sebelum disamak , mereka semua pun sepakat tidak dibolehkan bahkan haram memakan kulit bangkai hewan. Dengan dalil :


حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
“Dilarang bagi kamu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah : 3)

Namun bila setelah disamak, para jumhur ulama seperti Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali bersepakat juga bahwa haram hukum memakannya. Masih dengan dalil yang sama diatas hanya saja ditambahkan dengan :

إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
“Sesungguhnya haram memakannya.” (HR. Bukhari)[4]
Alasan yang diguanakan adalah kulit hewan tadi termasuk bagian dari bangkai tersebut, sehingga disimpulkan bahwa kulitnya pun akan tetap haram dimakan.
Namun, sangat berbeda dengan madzhab Syafi’i yang membolehkan untuk dimakan dengan menggunakan dalil :

  ذَكَاةُ الأَدِيمِ دِبَاغُهُ 
“Bangkai hewan yang disembelih sama seperti (bangkai hewan) yang disamak.” (HR. Thabrani) [5]
Alasannya, bahwa kulit tersebut dari hewan yang suci (boleh dimakan) sehingga hukumnya disamakan dengan kulit hewan yang sudah disembelih. Dan termaktub jelas dalam kitab Al-Majmu’ bahwa hanya menurut madzhab ini yang membolehkan kulit bangkai hewan yang sudah disamak boleh dimakan.[6]

* Hanya sebagai catatan, hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani diatas mengandung sanad (silsilah perawi) yang lemah. dikarenakan ada salah satu perawi dari rantai sanad yang terputus yaitu Hasan yang belum mendengar langsung dari Salamah. Namun, Imam Thabrani mengambil dari jalur rantai sanad yang lain yaitu Yazid bin Zari’ sehingga hadits ini dihukumi hadits Shohih Li Ghoirihi.

B. Memanfaatkan kulit hasil penyamakan

Setelah membaca penjelasan diatas, maka yang kini menjadi pertanyaan adalah apa saja yang dibolehkan dalam memanfaatkan kulit yang sudah disamak tadi?
Yang pasti, kita sekarang sudah tahu kehalalan kulit bangkai hewan setelah disamak yang mana keharamannya pun telah berubah menjadi suci.

Namun, yang harus di garis bawahi, tidak semua kulit hewan setelah disamak bisa berubah menjadi suci, karena selain hewan yang punya taring dan buas (seperti singa, serigala, harimau dll) dibolehkan untuk dijual, disewakan, dipakai, atau dimanfaatkan untuk yang lain kecuali dimakan.
Tadi hanya baru pandangan secara global, karena para ulama fiqih ternyata mempunyai batasan-batasan lain dalam masing-masing madzhabnya.

1. Madzhab Hanafi mengkhususkan dan hanya membolehkan pemakaiannya bila kulit tadi sudah benar-benar kering. Bagi madzhab ini, kecuali babi boleh dipakai dan dimanfaatkan untuk yang lainnya.

2. Berbeda dengan madzhab Maliki yang pendapatnya lebih flexibel.
Di satu sisi, madzhab ini membolehkan pemakaiannya hanya di air, tidak boleh dijual, dan tidak boleh dipakai untuk sholat baik dikenakan maupun dijadikan alas.

Namun disisi lain, pemakaiannya boleh untuk kulit yang kering. Misalnya kulit tadi dibuat bejana untuk tumbuhan adas dan kacang atau sejenisnya maupun dibuat rebana. Namun tidak boleh dihaluskan atau digiling untuk dijadikan tepung.

Dalam kitab Ad-Dusuqi, disebutkan bahwa diperbolehkan untuk memakainya dalam air karena kemampuan bertahannya dari kesucian, serta tidak membahayakan kecuali bila ada yang berubah dari salah satu sifatnya.[7]

3. Sedangkan dalam kitab Kasyaful Qana’ disebutkan bahwa madzhab Hanbali menggunakan dalil dari perkataan Nabi SAW :

))أَلا أَخَذُوا إهَابَهَا فَدَبَغُوهُ فَانْتَفَعُوا بِهِ (( رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“Tidakkah kalian mengambil kulitnya?” Maka mereka mengulitinya (menyamaknya) serta memanfaatkannya. (HR. Muslim)
Dan juga karena para sahabat terdahulu menguliti bangkai dan menjadikannya pelana untuk kuda dan senjata mereka. Kesimpulannya, dalam madzhab ini juga hanya membolehkan kulit yang kering saja untuk dimanfaatkan. Dan tidak membolehkan pemanfaatan kulit apapun sebelum disamak. [8]

C. Mencuci kulit hasil penyamakan

Setelah kulit disamak, wajibkah kita mencucinya ulang? Sebelum atau sesudahnya? Atau sudah sucikah kulit tersebut sehingga tak perlu dicuci?

Untuk menjawabnya, para ulama fiqih telah menjabarkan pendapat mereka :

1. Madzhab hanafi tidak menyebutkan pentingnya mencuci kulit yang sedang disamak ataupun setelahnya. Bagi madzhab ini, dibaghoh telah menyucikan dalam dan luar kulit sehingga tidak perlu ada penyucian ulang dan tidak membutuhkan air.

2. Sama seperti madzhab Hanafi, menurut madzhab Syafi’i kulit yang telah disamak tidak perlu dicuci karena dalam hadits yang mensyariatkan dibaghoh (lihat asal muasal dibaghoh) tidak menyebutkan wajib atau tidaknya air dalam proses penyamakan.

3. Nah, hanya madzhab Hanbali yang berbeda. Bagi mereka, kesucian kulit tidak hanya bisa didapat dari dibaghoh saja, sehingga diwajibkannya air setelah proses ini. Sebagaimana perkataan Nabi SAW tentang kulit bangkai domba.

))يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظ(( رواه أبو داود
“(Kulit) itu bisa disucikan dengan air dan batang yang berduri” (HR. Abu Daud)[9]
Dalam kitab Mughnil Muhtaj disebutkan bahwa :

1. Syarat yang benar adalah dengan mencucinya saat proses dibaghoh berlangsung (dengan tujuan untuk menghilangkan).

2. Dari hadits diatas, muncul kemungkinan hukum airnya menjadi mandub(sunnah).

3. Setelah dibaghoh, wajib dicuci ulang dengan air karena kulit yang sudah disamak diumpamakan dengan baju kotor yang terkena najis sebelum disucikan.

Semoga semua penjelasan diatas dapat memberikan sedikit gambaran tentang halal tidaknya barang-barang yang sering kita gunakan, khususnya yang terbuat dari kulit-kulit hewan. Sehingga kita lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan segala ibadah yang sesuai dengan syariat yang Allah dan Rasulullah ajarkan.
Allahu a’lam..




[1] Ibrahim Musthafa, Mu’jam Wasith, (Kairo:Daar Ad-Da’wah, t.h) hal 279

[2] Syamsud Din Ar Romli, Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarhil Muhadzdzab, (Beirut:Daar Al-Fikr, 1984) jilid 1 hal 232

[3] Imam Muslim, Subulus Salam syarhu Bulughul Marom, jilid 1 hal 41 no.20

[4] Imam Bukhori, Mukhtashor Imam Bukhori, (Riyadh: Maktabah Ma’arif li Nasyir wa Tauzi’, 2002) jilid 1 hal 442 no 713

[5] Abu Abdullah As-Syaibani, Musnad Imam Ahmad, (t.t:t.p, 2001) jilid 33 hal 257 no 20067

[6] Abu Zakaria An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzab (t.t:Daar Al-Fikr,t.h) jilid 1 hal 229-230

[7] Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuqi, Hasyiyatud Dusuqi ala As-Syarhi Al-Kabir,(t.t:Daar Al-Fikr,t.h) jilid 1 hal 55

[8] Mansur bin Yunus Al-Buhuti, Kasyaaful Qana’ ‘an Matnil Iqna’, (t.t: Daarul Kutub Al-‘Ilmiah,t.h), jilid 1 hal 54

[9] Syamsud Din As-Syirbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhig Minhaj,(t.t: Daarul Kutub Al-‘Ilmiah,1994), jilid 1 hal 82-83